Ibu Marga Desi, SPd. dengan tertatih berada dalam antrian panjang di sebuah bank. Sudah menjadi rutinitas diawal bulan, nenek 62 tahun harus berjuang untuk mengambil uang pensiunan, buah pengabdian 30 tahun lebih di dunia pendidikan.
Kesibukan bank telah menenggelamkan orang pada kepentingan masing-masing, tidak satupun yang memperdulikan Ibu Marga. Untunglah Ibu Marga berdiri di antrian nomor tiga.
Namun pemandangan di depan, sungguh mengacaukan suasana hatinya. Pemuda dengan dandanan "amburadul", rambut dipotong punk, dengan warna yang mencolok mata. anting-anting berjejer tak karuan menembus kulit hidung, bibir, dan telinganya. Belum lagi baju dan celana yang sengaja dirobek sana sini sehingga memperlihatkan gambar tato berjejal memenuhi tubuhnya. Ia tampak cuek dengan earphone di telinganya, asyik mendengarkan musik.
Walau antrian tinggal tiga, tetapi suasana di depan sungguh menyesakkan dada Ibu Marga. Benar-benar pemuda yang sudah tidak bisa diharapkan lagi, batin Ibu Marga.
Antrian pertama telah berlalu, Ibu Marga bergeser ke antrian kedua, masih di belakang pemuda punk. Pemuda punk masih asik menggeleng-gelengkan kepala menikmati hentakan musik. Goyangan kepala baru berhenti ketika tanpa sengaja Ibu Marga terhuyung mengenai punggung Pemuda punk.
Reaksi berubah 180 derajat, pemuda punk menoleh, menatap wajah Ibu Marga lekat. Pemuda itu tersenyum.
"maaf Ibu, silakan ibu duluan," pemuda punk beringsut ke belakang Ibu Marga. Pemuda itu meraih lengan dan pundak Ibu Marga, menuntun Ibu Marga hingga ke depan kasir.
Kurang lebih 10 menit telah berlalu, dan pemuda itu masih berdiri disamping Ibu Marga. Ia kembali menuntun Ibu Marga, menghantar sampai ke depan bank, dan mencarikan taksi untuk Ibu Marga.
"maafkan ananda tidak bisa menghantar," kata pemuda itu penuh senyum.
Ibu marga semakin terheran-heran dengan sikap pemuda itu, sebelum pintu taksi tertutup, Ibu Marga bertanya,
"Anakku, maafkan ibu jika telah salah menilaimu. Tapi bolehkah ibu tahu, siapakah yang telah mengajarimu berlaku santun kepada orang tua, seperti ibu ini.?"
"yang mendidik kami agar berlaku santun kepada orang tua, adalah guru SD kami dulu."
"Siapakah nama gurumu itu.? Siapa tahu ibu mengenalnya."
"Ibu Marga Desi, SPd."
perairan Laut Jawa, perjalanan pulang ke Tanjung Pacinan
Kamis, 26 Maret 2009
16:48
" Satu ALIF yang kita ajarkan kepada orang lain, akan menjadi aliran pahala tiada henti kepada kita, setiap orang itu membaca Qur'an dan hadits.
Satu teladan yang kita berikan kepada orang lain, akan menjadi tabungan kebajikan bagi kita, dikemudian hari. "
Tidak ada komentar:
Posting Komentar